- Back to Home »
- Cerpen »
- Senja Rinduku
Posted by : Dane
Kamis, 16 April 2015
“Tunggulah senja datang, lalu… kau boleh meninggalkanku.”
Nada, seindah apakah senja yang perlahan mengendap lewat
kaca-kaca café itu, hingga menyelinap menuju coklat panas sehingga warnanya
berpadu tak secoklat yang seharusnya. Bagaimana rindu itu bisa terpecahkan
begitu saja ? adakah hal yang kau maksud disana ?
Selalu ada warna dalam senja, hal-hal bisa terjadi tanpa
kita minta dan selalu ada maksud dalam setiap inci dari sebuah peristiwa.
“Aku melihat senja, lalu aku memikirkanmu.” Ucap seorang
wanita pada kekasihnya.
Di sore yang cerah, mereka duduk berdua ditengah
keramaian café. Seperti biasa, tempat dengan sofa dan meja di ujung barat yang
nyaman dengan tepi kaca mereka pilih.
“Coklat panas ini terlalu sayang untuk dihabiskan hanya karena
senja.” Ucap wanita itu.
Kekasihya yang berkaca mata, berkumis tipis dan sepatu
klasik yang identik darinya hanya diam dan memandangi coklat panas yang juga ia
pesan. Sesekali ia menengok pada wanita
itu. Jangan tanya bagaimana perasaan dirinya pada wanita itu, itu merupakan
suatu hal yang muak untuk dibincangkan.
“Kau tahu, mengapa aku sangat menyukai senja dan
secangkir coklat panas ini ?” tanya wanita itu pada kekasihnya.
Laki-laki berkaca mata itu tidak menjawab, karena ia tahu
wanita itu akan menjawab tanpa ia minta.
“Aku dapat melihatmu, memecahkan riduku padamu karena hal
itu.”
“Lalu?”
“Aku bisa menghangatkan bermacam luapan perasaanku pada
dia yang membuatku mendingin karena ucapnya” katanya dengan sindiran.
Wanita dengan lesung pipi pada pipi kanannya itu,
memandang ke arah luar dari balik kaca tak henti-hentinya. Ia mulai terhanyut
dalam suasana menuju senja. Begitupun dengan laki-laki itu, ia seperti seorang
yang tak pernah melihat senja semenjak ia lahir. Ia mulai menggila mencari-cari
apa yang diceritakan oleh kekasihnya jauh-jauh hari. Ya, jauh-jauh sebelum
akhirnya ia menyisakan waktu untuk wanita itu.
“Kapan datangnya senja itu ?” tanya laki-laki itu pada
kekasihnya.
“Bersabarlah” dengan senyuman ia membalas ucapan
laki-laki itu.
“Berapa jam lagi ?” ia terus merintih, karena ia menunggu
hal bodoh yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
“Tunggulah, ia akan datang”
“Jangan menunggu hal tak berguna, apakah kau selama ini
baik-baik saja melakukan hal seperti ini” katanya dengan penekanan yang cukup
keras.
“Aku baik-baik saja, sebaik kamu selama ini
memperlakukanku. Ini memang tak berguna, akan tidak berguna lagi jika aku meninggalkan
tanpa menyelesaikannya.”
Seketika… laki-laki itu diam, kembali memandang menuju
arah luar. Ia begitu terlarut mencerna setiap kata mengenai apa yang kekasihnya
katakan.
Terlalu lama terdiam, hingga membuat coklat panas itu
kini mendingin. Mendingin, seiring dinginnya senja yang datang. Senja yang
menjadi sorotan mata laki-laki berkumis tipis dan berkaca mata itu. Senja yang
datang bercampur cahaya matahari membuat gumpalan awan-awan putih itu kuning
kemerah-merahan. Senja yang datang mengiringi cahaya keabadian itu terlelap.
“Akan ada senja lagi esok” ucap laki-laki itu dalam hati.
Iya, senja. Senja yang datang bukan dari sebuah café
kenangan. Senja yang diam, menyenangkan seperti apa yang wanita dulu
deskripsikan seperti kekasihnya. Bukan senja lagi yang dulu laki-laki itu lihat
seperti sebuah rindu paksaan.
Lalu tiba-tiba, ia berhenti meminum coklatnya yang sudah
mendingin. Entahlah, apa café itu akan tutup? Atau ia mulai mendalami kisah ini
terlalu dalam ? Tapi, kadang kita tidak butuh jawaban untuk sebuah kenangan
yang magis, bukan ? Senja ini, mugkin berkekakasih dengan coklat ini.Hingga
mereka memiliki sebuah keindahan yang berpasangan, cocok untuk dinikmati,
saling melengkapi dimanapun berada, hingga teringat bahkan terkenang ucapan
kekasihnya :
“Tunggulah senja datang, lalu… kau boleh meninggalkanku”
Karya : Tamarin Ekanita Dewi